Thursday 13 April 2017

Rukunnya Seorang Imam

Rukunnya Seorang Imam Seperti berikut, dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.
Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah:
1). Jika seseorang sebagai tetamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya”
4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ…
“Tiga golongan yang tidak terangkat solat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”
Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbezaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi uzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.
Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia solat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”
Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan solat, Dari Bacaan-Bacaan solat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.
Ketiga : Mentakhfif solat.
Yaitu mempersingkat solat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan solat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ
“Jika salah seorang kalian solat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia solat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya”
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan solatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam solat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.
Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk solat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian”
Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.”
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;
1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah anal-anak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.
2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ
“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf”
Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm:
لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar”.
Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak solat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :
لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ
“Janganlah solat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin.”
Sedangkan dalam solat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang solat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang solat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang solat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.
Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang solat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki solatnya, menyempurnakan serta memperkukuhnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan solat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang solat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan solatnya.
Kelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.

Al-Ruqyah Al-Shar'iyyah

(The Syarie Incantation Using Quranic Verses for Spiritual Protection and Islamic Exorcism)

Saya telah sediakan Al Ruqyah secara online untuk masa-masa kecemasan dan supaya kita berikhtiar sendiri tanpa terlalu bergantung pada orang lain terutama sekiranya kita atau orang yang hampir pada kita ada kecenderungan gangguan kerohanian. Moga dengan kesungguhan usaha, tawajjuh dan tawakkal kepada Allah SWT dalam apa keadaan sekalipun yang termampu maka Allah SWT mudahkan bagi kita.

Dalam cara rawatan Islam, perawat akan membacakan beberapa potong ayat-ayat Al-Quran supaya pesakit dapat mendengarnya dengan khusyuk. Bagi mereka yang ada gangguan, biasanya apabila dibacakan Al-Quran pada telinganya, si Jin, syaitan atau iblis yang berada di dalam tubuh si pesakit itu akan merasa panas dan lama-kelamaan dia tidak akan boleh bertahan dengan berdiam diri. Maka timbul lah berbagai reaksi dari pesakit itu. Antaranya ialah pesakit akan rasa:

    - pening-pening kepala
    - mabuk
    - muntah-muntah
    - menggeletar
    - pengsan
    - seram-sejuk
    - berdebar-debar

Untuk makluman, ayat-ayat Al-Quran yang biasa digunakan untuk rawatan makhluk halus adalah lebih dikenali sebagai Ayat-ayat Ruqyah.

CARA MENGGUNAKAN RUQYAH SYAR’IYAH

    1) Bagi kesihatan diri dan keluarga, baca/pasangkan rakaman ini didalam rumah/premis perniagaan 3x sehari atau pasangkan dari malam sampai pagi. Sebaik-baiknya membaca sendiri sebagai amalan.

    2) Bagi pesakit gangguan jin, dilarang memasangnya didalam kereta, kesannya akan mengakibatkan kita mengantuk dan mengganggu pemanduan.

    3) Bagi anak-anak yang menangis diwaktu malam, anda perlu pasangkan dengan kuat, insyaAllah jin/syaitan akan lari dari mengganggu anak-anak anda.

    4) Untuk merawat histeria, sihir, saka dan lambat jodoh, sediakan 3 botol besar air mineral, buka penutupnya dan pasangkan cd/mp3 ruqyah ini 3 pusingan sebelah air tadi (kira-kira 1 jam 20 minit).Air tadi dibuat minum seteguk untuk 3x sehari dan lakukan hari berikutnya sehingga air tadi habis. Tiap-tiap lepas solat perlu baca qursy 3x dan al insyirah 3x secara istiqomah. Kemudian sebelah malamnya pula, rakaman ruqyah ini hendaklah dipasang dari malam sampai pagi selama sebulan.

    5) Bagi memulihkan rumah/premis perniagaan yang bermasalah, cuma pasangkan 3x sehari untuk 3 hari berturut-turut.

    6) Jika kita sering mengalami masalah malas dan badan terasa berat, perdengarkan rakaman ruqyah ini 3x sehari, insyaAllah kita akan cergas dan kembali bersemangat.
    *BAGI UNTUK MENDAPATKAN KESEMBUHAN YANG MAKSIMUM BILA MENDENGAR RUQYAH INI, SILA PEJAMKAN MATA DAN DENGAR SEHINGGA TAMAT TANPA MENGIKUT BACAANNYA DIMULUT ATAUPUN DIHATI*

Urutan Ayat-Ayat Ruqyah || No; Nama Surah; Juzuk; Ayat

    1 Al-Fatihah 1 Seluruhnya
    2 Al-Baqarah 1 1-5
    3 Al-Baqarah 1 102
    4 Al-Baqarah 2 163-164
    5 Al-Baqarah (Ayatul Kursi) 3 255
    6 Al-Baqarah 3 285-286
    7 Ali-Imran 3 18-19
    8 Al-’Araf 8 54-56
    9 Al-’Araf 9 117-122
    10 Yunus 11 81-82
    11 Toha 16 69
    12 Al-Mukminun 18 115-118
    13 As-Soffaat 23 1-10
    14 Al-Ahqaaf 26 29-32
    15 Ar-Rahman 27 33-36
    16 Al-Hasyr 28 21-24
    17 Al-Jin 29 1-9
    18 Al-Ikhlas 30 Seluruhnya
    19 Al-Falaq 30 Seluruhnya
    20 An-Naas 30 Seluruhnya

Selain mengubati penyakit yang melibatkan jin dan syaitan, amalkan memasang audio ini di rumah terutamanya jika anda baru berpindah ataupun merasakan ada sesuatu tidak kena pada tempat tinggal anda. Sebar-sebarkanlah perkara ini kerana mungkin ada keperluannya pada insan yang memerlukan. InsyaAllah.

_________________________________________________________

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemukan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa` hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Sungguh Allah SWT telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”

Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kerasukan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah SWT.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal no. 77)

 

Saturday 20 July 2013

Syariat, Tariqat, Haqiqat dan Makrifat

Syariat, Tariqat, Haqiqat dan Makrifat

Masalah Syariat, Tariqat, Haqiqat dan Makrifat adalah bidang-bidang atau cabang ilmu yang sangat khusus dan amat berbeza disegi pendekatan dan sumber perantara ilmu itu.
Pertelingkahan antara Ulama Haqiqat dan Ulama Syariat telah berlaku sejak dulu lagi. Mereka sebenarnya “betul” dalam bidang masing-masing. Sebagaimana berlaku antara Nabi Musa dan Nabi Khaidir. Nabi Musa, walaupun seorang Nabi, beliau tidak mempunyai Makrifat. Jadi beliau menghukum sesuatu kejadian berdasarkan ilmu Syariat yang beliau tahu. 

Nabi Khaidir pula dikurniakan Allah ilmu Makrifat, jadi beliau menghukum sesuatu mengikut ilmunya. Jadi dalam perjalanan bersama-sama Nabi Musa, Nabi Khaidir telah membunuh seorang budak, membangun semula rumah yang telah hampir musnah dan mengapak kapal yang beliau tumpangi. Perbuatan ini amat bersalahan dengan Syariat Nabi Musa. Kerana tidak sabar, Nabi Musa menegur perbuatan Nabi Khidir. Dengan itu mereka terpaksa berpisah sebagaimana perjanjian yang telah dibuat sebelum perjalanan. Nabi Khaidir berbuat demikian kerana pada pandangan Makrifatnya, budak itu mesti dibunuh kerana ia bakal menjadi anak yang nakal, sedangkan ibu/bapanya orang yang solleh. Dibawah bangunan lama terdapat harta anak yatim yang belum dewasa. Dalam perjalanan dengan kapal, Nabi Khaidir merosakkan sedikit kapal yang ditumpanginya supaya tidak dirampas oleh Raja yang zalim di pelabuhan yang mereka akan singgah. Raja ini akan merampas kapal-kapal yang baik.
Dalam hal ini Nabi Musa betul dengan ilmunya dan Nabi Khaidir betul dengan ilmunya.

Seperti juga berlaku pada Halaj, seorang wali Allah. Ia dihukum bunuh kerana dikatakan mengaku dirinya Allah dengan berkata `Anal Haq’. Pada pandangan Feqah (ilmu syariat) beliau telah bersalah dan perlu dihukum bunuh. Setelah kepalanya dipancung, darah tersembur dan membentuk perkataan “La ila ha illa llah” dipermukaan tanah. Dalam hal ini, ahli Syariat yang menghukum tidak bersalah dan Halaj juga tidak bersalah. Halaj berkata demikian kerana terlalu ‘Zuk” atau telah fana didalam kewujudan Allah SWT.
Sumber hukum untuk masyarakat umum dalam Islam mestilah berlandaskan Syariat. Ini adalah untuk menjadikan hukum Islam bersistematik sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah SAW.
Laduni dan Kashaf sebenarnya bukan ilmu. Ia merupakan cara ilmu itu disampaikan. Laduni bermaksud Allah memasukkan terus maklumat berkenaan sesuatu perkara kedalam pengtahuan orang itu. Tidak melalui pendengaran atau penglihatan. Dengan perkataan lain tidak ada guru.

Khasaf pula bermaksud keupayaan seseorang itu melihat perkara-perkara yang ghaib pada mata kasar. Pandangan khasaf ialah pandangan menggunakan mata basir (mata batin atau mata ruhani). Kalau mata kasar menggunakan cahaya (cahaya matahari atau lampu) untuk melihat, mata basir menggunakan “nur” untuk melihat. Kekuatan mata basir berbeza-beza. Paling rendah boleh melihat dimensi jin (dan syaitan). Peringkat lebih tinggi boleh melihat dimensi malaikat (alam malakut), kemudian dimensi roh. Paling tinggi ialah dimensi ketuhaan (Alam Lahut).

Jadi ilmu-ilmu ini walaupun sumbernya Allah SWT, tetapi melalui cara yang berbeza. Sesuai dengan Ilmu Syariat yang bersifat zahir dan membicara perkara-perkara yang zahir semata-mata, maka cara penyampaiannya juga menggunakan peralatan zahir, seperti guru zahir, kitab-kitab yang bersumberkan Quran dan Hadith Rasulullah SAW.

Tariqat ialah jalan atau cara-cara untuk mempertingkatkan IMAN, TAQWA dan seterusnya mendapatkan keredhaan Allah SWT. Jadi, untuk mendapatkan keredhaan Allah, mestilah menggunkan jalan atau peraturan yang diredhai Allah. Apabila sesorang pengamal tariqat beramal bersungguh-sungguh dengan ikhlas dibawah panduan seorang guru yang murshid, darjat IMAN dan TQWAnya meningkat dari sehari-kesehari. Hasil dari peningkatan ini, “dirinya” yang di dalam diri zahir, atau ronya, menjadi bertambah kuat dan sehat. Mata basirnya semakin terang sehingga pada suatu masa, cukup kuat sehingga boleh melihat alam ghaib atau kashaf. Setelah kasyaf dan sudah melihat dimensi-dimensi yang dijelaskan tadi, IMANnya meningkat dari ILMU YAKIN kepada AINUL YAKIN. Kalau dahulu murid itu yakin adanya alam ghaib kerana percaya kepada ilmu syariat yang dipelajari. Tetapi sekarang ini telah melihat sendiri adanya alam ghaib tersebut. Naiklah darjat menjadi AINUL YAKIN (Ain bermakna mata).

Kemudian Allah membuka lagi lautan ilmu (maklumat) berkenaan dengan Rahsia Allah kepada murid ini melalui guru-guru ghaib yang terdiri daripada Wali-wali Allah atau ALLAH memberi terus melalui Laduni. IMAN murid tadi meningkat lagi sehingga HAQQUL YAKIN. Ia itu yakin sebenarnya-benar yakin. Inilah darjat yakin para Nabi-nabi.

Setelah mengtahui rahsia-rahsia kejadian alam ini, maka dikatakan murid tadi telah mendapat HAQIQAT. Ia itu mengtahui kejadian makhluk Allah disegi zahirnya dan gahibnya (batinya). Setelah mendapat HAQIQAT, seterunya murid tadi dengan kurniaNYA, mungkin akan ditambah lagi ILMUnya sehingga mengenal KHALIQ, Yang Maha Pencipta iatu ALLAH YANG MAHA PERKASA. Inillah dikatakan telah mendapat MAKRIFAT. Ia itu mengenal ALLAH sebagaimana ALLAH sendiri memberi tahu diriNYA.
Jadi sebagai kesimpulan, Tariqat itu masih berbetuk syariat kerana ia ilmu zahir. Hasil dari amalan tariqat, seseorang itu dikurniakan Haqiqat dan Makrifat.

Guru murshid ialah guru yang telah mendapat sekurang-kurangnya peringkat Haqiqat kalaupun tidak mendapat Makrifat.

Jadi kesimpulanya, kalau kita bukan ahlinya, tak payahlah jadi macam orang buta yang cuba menceritakan bentuk seekor gajah. Orang buta yang pegang belalai tentu mengatakan gajah itu seperti ular. Orang buta yang pegang kaki, kata gajah macam tiang, begitulah seterunya.
Berkenaan dengan bagaimana nak membezakan sama ada sumber ilham atau guru ghaib itu yang haq (wali-wali misalnya) atau batil (syaitan). Ini perkara senang. Guru yang murshid akan dapat membantu muridnya. Guru murshid melihat dengan mata bashir dan dapat mengenal siapa sebenarnya yang datang. Syaitan memang pandai berupa, tetapi mata bashir lebih tajam. Syaitan itu boleh dibunuh.

Kalau berbicara masalah Tariqat, tak payahlah tanya mana hadis atau nasnya. Lihatlah siapa yang mengajar dan siapa muridnya. Mana salsilahnya. Tariqat yang betul jelas. Tariqat yang salah pun jelas. Kalau amalan Tariqat tersebut bersalahan dengan Syariat, jangan ragu lagi. Pasti salah. Seperti sembahyang tanpa kelakuan atau sembahyang niat atau dipanggil juga sembahyang batin, tentu salah kerana sembahyang mesti ada ketiga, niat, berkata-kata dan kelakuan. Kalau tidak menjaga aurat, bercampur laki-laki dan perempuan juga salah.
Bahkan, semakin tinggi seseorang itu dalam perjalanannya menuju keredhaan Ilahi, semakin banyak dia bersembahyang. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Kalau semakin tidak sembahyang, sahlah syaitan atau ketua syaitan ia itu Iblislah gurunya. 

Sebagai kesimpulan, kalau kita bermaksud untuk menjadi orang yang diredhai Allah SWT MESTI belajar dan amal Tariqat. Sesorang yang mengamal Tariqat telah tahu dengan yakin sama ada segala amalannya diterima atau tidak oleh Allah SWT sebelum ia meninggal dunia lagi. Ia masih boleh betulkan sebelum mengadap Ilahi. Bahkan mereka ini mungkin dilantik menjadi Wali-Wali Allah.

Orang syariat hanya mendapat tahu sama ada Allah redha atau tidak setelah mereka mati. Ini sudah terlambat kalau terdapat kesilapan dalam amalan sehingga tidak diterima Allah SWT.
Fikirkanlah……………… saudaraku
Sekian. Harap maaf kalau terkasar bahasa.

Thursday 18 July 2013

Syarat-syarat sah untuk seseorang itu menjadi Imam

Syarat-syarat sah untuk seseorang itu menjadi Imam :
1) Islam, tidak sah solat yang diimamkan oleh seseorang yang kafir.

2) Berakal, tidak sah solat yang diimamkan oleh seseorang yang gila. Ini kerana, solat yang dilakukan oleh orang yang disahkan gila tersebut tidak sah. Tetapi jika gila itu bermusim maka solat ketika dia sihat sah tetapi adalah dibenci. Ini kerana dikhuatiri penyakit gilanya itu berulang ketika dia menunaikan solat.

3) Baligh, tidak sah solat yang diimamkan seseorang mumaiyiz kepada seorang yang baligh di dalam solat wajib dan sunat. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud, “Janganlah diimamkan solat itu oleh seorang budak sehingga dia baligh.”

Ini kerana solat itu adalah dalam keadaan sempurna sedangkan budak atau kanak-kanak itu bukan daripada ahli yang sempurna.

Imam Syafie berpendapat, harus orang yang baligh menjadi makmum kepada imam yang belum Mumaiyiz. Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan daripada Amr bin Salamah: Aku telah mengimamkan solat di zaman Rasulullah s.a.w sedang aku adalah anak yang baru berumur tujuh tahun. (Riwayat Bukhari)

4) Lelaki yang sejati sekiranya yang menjadi makmum itu adalah lelaki.

Tidak sah solat yang diimamkan oleh seorang perempuan atau khunsa bagi makmum lelaki sama ada solat fardu atau sunat. Sekiranya yang menjadi makmum itu perempuan semata-mata maka tidak disyaratkan lelaki menjadi imam bagi jemaah tersebut.

5) Bersih daripada hadas dan kekotoran.

Tidak sah menjadi imam yang berhadas atau orang yang terdapat najis pada badannya, pakaiannya sama ada dia mengetahui hal tersebut atau lupa.

6) Baik bacaannya dan mengetahui rukun-rukunnya.

Seseorang imam hendaklah baik bacaannya kerana solat tidak sah melainkan dengan bacaan dan mengetahui rukun-rukun solat. Tidak sah seseorang qari menjadi makmum kepada seseorang yang buta huruf (jumhur) dan wajib bagi qari mengulangi solatnya. Seperti mana keadaannya tidak menjadi makmum kepada seseorang yang tidak mampu rukuk, sujud atau tidak boleh duduk ataupun tidak mampu mengadap kiblat.

7) Keadaan yang bukan makmum.

Tidak sah solat makmum mengikut makmum lain sebagai imam. Mengikut seseorang yang sudah terputus dengan imamnya disebabkan masbuk:

i- Al-Hanafiah: tidak harus menjadi seseorang masbuq itu sebagai ikutan kerana dia telah mengikut (makmum). Oleh yang demikian, yang diikut tidak boleh diikuti.

ii- Al-Malikiah: tidak harus menjadikan seseorang yang masbuk itu sebagai ikutan kerana dia tadi mengikut (makmum). Namun adapun yang mudrik (tidak sempat rakaat bersama imam boleh diikuti apabila dia bangkit untuk menunaikan solatnya dan hendaklah mudrik yang tidak sempat rakaat tadi berniat menjadi imam. Kerana ketika itu dia sedang solat berseorangan dan tidak thabit hukum makmum.

iii- Al-Syafieyyah: terputus ikutan / menurut imam dengan semata-mata keluarnya imam dari solat sama ada dengan memberi salam atau dengan sebab terbatalnya wuduk. Ini kerana terkeluarnya dari ikatan di antara imam dan makmum maka pada ketika itu dia boleh mengikuti orang lain yang ganti imam atau orang lain yang mengikutnya sebagai imam.

Kesimpulannya : al-Hanafiah dan Malikiah tidak mengharuskan mengikut seseorang yang asalnya mengikut selepas imam memberi salam, dan harus pada Al-Syafieyyah dan al-Hanabilah. Ini adalah lebih utama.

8) Syarat khas pada al-Hanafiah dan al-Hanabilah: sejahtera daripada keuzuran.

Tidak lawas ketika buang air, kerap terkentut dan batuk makruh ke atas orang yang mempunyai penyakit-penyakit ini menjadi imam. Sekiranya seseorang yang mempunyai satu keuzuran adalah lebih utama menjadi imam daripada orang yang mempunyai dua keuzuran.

Adapun pendapat al-Malikiah tidak mensyaratkan syarat ini tetapi dihukum makruh menjadi imam selagi mana tidak terbatal wuduknya.

Begitu juga pendapat bagi Al-Syafieyyah tidak mensyaratkan syarat ini dan sah menjadi imam orang yang mempunyai keuzuran ini dan tidak perlu mengulangi solat tersebut.

9) Imam mesti seorang yang fasih al-lisan.

Mampu menyebut huruf-huruf di dalam al-Quran dari makhrajnya.

10) Al-Hanafiah dan Al-Syafieyyah mensyaratkan supaya solat itu diimamkan oleh orang yang bermazhab yang sama dengan makmum.

Sekiranya seseorang yang bermazhab Hanafi solat di belakang seorang imam bermazhab Syafie yang mengalir darah pada tubuhnya dan tidak berwuduk selepas itu atau solat seorang yang bermazhab Syafie di belakang seseorang bermazhab Hanafi yang menyentuh perempuan dan tidak berwuduk, maka solat makmum itu batal kerana setiap mazhab melihat kepada batalnya solat imam itu tadi.

Al-Hanafiah berpendapat solat di belakang imam yang bermazhab Syafie adalah makruh.

Taharah / Bersuci

Taharah / Bersuci

    1. Definisi :

    i) Dari segi bahasa : Suci dan bersih
    ii) Dari segi istilah syarak : Suci dan bersih daripada najis atau hadas.

    2. Taharah ialah anak kunci dan syarat sah salat.

    3. Hukum taharah ialah WAJIB di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan.

    4. Dalil naqli tentang suruhan bersuci adalah sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Surah al-Anfal, ayat 11 yang bermaksud :

    " Dan (ingatlah ketika) Dia menurunkan kepada kamu hujan daripada langit untuk mensucikan kamu dengannya... "

    Rasulullah s.a.w. pernah bersabda yang bermaksud :

    " Agama islam itu diasaskan di atas kebersihan "

    5. Tujuan taharah ialah bagi membolehkan seseorang itu menunaikan solat dan ibadah-ibadah yang lain.

    6. Hikmah disuruh melakukan taharah ialah kerana semua ibadah khusus yang kita lakukan itu adalah perbuatan mengadap dan menyembah Allah Ta'ala. Oleh itu untuk melakukannya, maka wajiblah berada di dalam keadaan suci sebagai mengagungkan kebesaran Allah s.w.t. .

    7. Faedah melakukan taharah ialah supaya badan menjadi bersih, sihat dan terjauh daripada penyakit serta mendatangkan kegembiraan kepada orang yang melaksanakannya.

    8. Syarat wajib taharah ialah :

        Islam
        Berakal
        Baligh
        Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).
        Tidak lupa
        Tidak dipaksa
        Berhenti darah haid dan nifas
        Ada air atau debu tanah yang suci.
        Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.

    9. Taharah adalah sebagai bukti bahawa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.

    10. Ahli fiqh bersepakat mengatakan harus bersuci dengan air yang suci (mutlaq) sebagaimana firman Allah:

    025.048 وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
 

    Maksudnya :
    "Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa khabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih "

    11. Selain itu, harus menggunakan kertas atau batu ketika beristinja' dan tanah atau debu tanah sebagai ganti air bagi mengharuskan solat yang dikenali sebagai tayammum.

    12. Jelasnya, alat–alat untuk bersuci itu ialah:

        Air mutlaq, iaitu air semata-mata tanpa disertakan dengan sesuatu tambahan atau sesuatu sifat. Air mutlaq ini terbahagi kepada beberapa bahagian:
            Air yang turun daripada langit. Ia terbahagi kepada tiga, iaitu air hujan, air salji yang menjadi cair dan air embun.
            Air yang terbit daripada bumi. Ia terbahagi kepada empat, iaitu air yang terbit daripada mata air, air perigi, air sungai dan air laut.
        Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu. Firman Allah:

    

    004.043 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

        “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
        (Surah Al-Nisa’, 4:43)
  

        3. Samak, iaitu membuang bahan-bahan lebihan yang melekat pada kulit dan yang merosakkannya sekira-kira jika direndam atau dibasuh dengan air sesudah disamak, maka kulit itu tetap tidak busuk atau rosak.

        4. Takhallul, iaitu arak bertukar menjadi cuka tanpa dimasukkan sesuatu bahan ke dalamnya.

    
 Pembahagian Jenis Air

    Air dari segi hukum terbahagi kepada tiga jenis, Iaitu:

    1. Air yang suci dan boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:

        a) Air Mutlaq:

            Air yang suci lagi menyucikan ialah air mutlaq yang kekal dengan sifat asal kejadiannya yang telah dijadikan oleh Allah s.w.t.

            Air tersebut masih dikatakan air mutlaq walaupun ia sudah berubah disebabkan lama terbiar , disebabkan tanah, lumut dan tempat bertakung atau tempat mengalirnya mengandungi belerang . Hal ini kerana air itu sukar untuk dielakkan daripada perkara tersebut .

            Dalil yang menunjukkan kesucian air mutlaq, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :

            "Daripada Abu Hurairah r.a.h. katanya , seorang Badwi berdiri lalu terkencing di dalam masjid, kemudian para sahabat pergi mencegahnya . Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, biarkan dia dan curahkanlah di atas air kencingnya setimba air . Sesungguhnya kamu disuruh untuk mempermudahkan bukan menyusahkan" .

            Perintah Rasulullah s.a.w. supaya menjiruskan air ke tempat air kencing tersebut adalah dalil yang menunjukkan bahawa air tersebut mempunyai sifat menyucikan.

        b) Air Musyammas:

            iaitu air yang suci lagi menyucikan tetapi makruh menggunakannya.
            Air yang suci lagi menyucikan yang lain tetapi makruh digunakan pada tubuh badan tidak pada pakaian.
            Air Musyammas bermaksud air yang panas yang terdedah kepada cahaya matahari iaitu pada negeri-negeri yang beriklim panas yang mana ia boleh mendatangkan karat seperti besi, tin dan lain-lain yang mana ia memberi mudharat apabila terkena kulit atau tubuih badan menyebabkan ianya sopak, kusta dan sebagainya. Sebagaimana Sabda Rasullah s.a.w. yang bermaksud :-

            "Dari Aisyah sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari maka telah bersabda Rasullah s.a.w kepadanya janganlah engkau berbuat demikian wahai Aisyah sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat Baihaqi)

    2. Air yang suci tetapi tidak boleh menyucikan benda lain. Ia terbahagi kepada dua:

        a) Air Musta'amal:

            Iaitu air yang suci pada dirinya tetapi tidak menyucikan yang lain yang mana maksudnya dengan perkataan air itu boleh diminum tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu.

            Yang dikatakan air Musta'amal pada mengangkatkan hadas ialah basuh kali yang pertama pada mandi atau wudhu' yang wajib dan sudah bercerai daripada anggota.
            Yang dikatakan air Musta'amal pada menghilangkan najis iaitu jika air itu tidak berubah dan tidak bertambah.
            Air daripada pokok-pokok dan air buah-buahan seperti daripada pucuk kelapa yang dibuat nira atau akar-akar kayu.

        Air yang berubah ada dua cara :-

            Berubah dengan Taqdiri - Air yang berubah dengan Taqdiri iaitu air yang berubah hanya pada Taqdir sahaja yang tidak dapat dilihat akan perubahannya.
            Berubah dengan Hissi - Air yang berubah pada Hissi iaitu berubah air itu dengan sesuatu yang dapat dilihat akan perubahannya.

        - Cara mentaqdirkan hukum air yang bercampur dengan sesuatu yang sama rupanya dengan seperti air mawar yang telah hilang bau, rasa dan warnanya.

            - pada bau hendaklah ditaqdirkan dengan bau kemenyan Arab.
            - pada rasa hendaklah ditaqdirkan dengan rasa delima.
            - pada warna hendaklah ditaqdirkan dengan warna anggur.

        Jika berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air musta'amal dan jika tidak berubah dengan taqdir ini maka hukumnya air mutlak.

        Air yang bercampur itu ada dua cara :-

            Majawir
            Bercampur dengan cara Mujawir iaitu air yang berubah dengan sebab termasuk di dalamnya dengan sesuatu yang dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air termasuk di dalamnya sebatang kayu cendana dan kayu itu boleh dipisahkan daripada air tersebut, maka hukum air itu ialah air mutlak.
            Mukhalit
            Bercampur dengan cara Mukhalit iaitu benda yang masuk ke dalam air itu tidak dapat dipisahkan daripada air, contohnya sebuah baldi yang penuh dengan air maka termasuk ke dalamnya nila maka dihukumnya air Musta'amal.

    b) Air Muqayyad:

            Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci yang mengubah salah satu sifatnya (warna, rasa dan bau) menyebabkan ia tidak dipanggil air mutlaq lagi seperti air yang dicampur dengan madu, sirap dan lain-lain.

    3. Air yang najis atau mutanajjis, iaitu air yang terkena benda najis. Ia terbahagi kepada dua:


    a) Air yang sukatannya kurang dari dua kolah dan terkena benda najis kecuali yang dimaafkan, sama ada berubah sifat (warna, rasa dan bau) atau tidak.

    b) Air yang sukatannya lebih dari dua kolah dan berubah sifat (warna, rasa dan bau) sama ada perubahan itu sedikit atau banyak.

        Ukuran air dua kolah itu ialah sebagai berikut :-
            Kalau dikira dengan tin minyak tanah, maka air dua kolah itu adalah sebanyak 9 2/3 tin
            Kalau dikira dengan timbangan, maka berat air dua kolah itu adalah seberat 162.72 kg.
            Kalau dikira dengan ukuran tempat empat persegi, maka air dua kolah itu memerlukan tempat yang berukuran 60 x 60 cm.


 Bersugi (Bersiwak)

    1. Bersugi atau bersiwak adalah suatu perbuatan bagi membersihkan mulut dan gigi.

    2. Bersugi hukumnya adalah sunat dan masanya ialah bila-bila masa tetapi masa yang paling dituntut ialah setelah bangun dari tidur, ketika hendak mendirikan sembahyang , ketika hendak membaca Al-Quraan dan ketika berubah bau mulut.

    3. Dihukumkan makruh bersugi apabila telah gelincir matahari ( masuk waktu Zohor ) bagi orang yang berpuasa , sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :

        “ Dari Abu Hurairah r.a.h. dari Nabi s.a.w. sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu disisi Allah s.w.t. itu lebih harum daripada kasturi “.
        ( Riwayat Muslim )

        - Pada pendapat Imam Nawawi r.a.h bahawa tidak makruh bersugi bagi orang yang berpuasa sama ada telah gelincir matahari atau belum gelincir matahari.

    4. Alat untuk bersugi ialah tiap-tiap sesuatu yang suci dan kesat seperti berus gigi , kayu arak ( siwak ) , rotan manggar kelapa dan lain-lain.

    5. Hadith Rasulullah s.a.w. tentang bersugi :

        1) Dari Aisyah r.a.h. “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda bersugi itu membersihkan mulut dan mendapat redha dari Tuhannya “.
        ( Riwayat Baihaqi )

        2) Dari Abu Hurairah r.a.h. dari Nabi s.a.w. telah bersabda : “ Kalau tidaklah akan menyusahkan umatku akan aku suruh mereka bersugi pada tiap-tiap waktu ketika berwuduk “.
        ( Riwayat Ahmad )

    6. Cara perlaksanaan bersugi hendaklah dengan tangan kanan dan dimulakan dengan sebelah kanan mulut dan terus dilakukan atas langit-langit mulut dengan perlahan-lahan serta ke atas gusi dan gigi.

        7. Di antara kelebihan bersugi ialah :

        1) Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :

        “ Dua rakaat sembahyang dengan bersugi itu terlebih baik pahalanya daripada tujuh puluh rakaat sembahyang dengan tidak bersugi “. ( Riwayat Muslim )

        2) Dapat menambahkan akal.
        3) Dapat mencerahkan mata.
        4) Melambatkan tumbuh uban .
        5) Dapat menggandakan pahala.
        6) Dapat mengucapkan Syahadah tatkala hampir ajal .

    7. Sekiranya tidak dapat bersugi pada tiap-tiap waktu yang dituntuti hendaklah ia bersugi sekali dalam sehari.

    8. Di antara sebab-sebab sembahyang orang yang bersugi itu lebih afdhal dan lebih besar fadhilatnya kerana ia akan mendatangkan lebih khusyuk sembahyangnya serta dapat memelihara pergaulan yang baik di dalam jemaahnya semasa sembahyang dengan bau mulut yang bersih dan harum serta cahaya gigi yang segar .

AQAI'DUL IMAN

AQAI'DUL IMAN

Adapun Aqa’idul Iman itu lima bahagi:

    Aqa’idul Iman 50, yaitu dengan ringkas untuk mengesahkan iman kita dan wajib diketahui bagi tiap-tiap orang islam yang baligh lagi beraqal laki-laki atau perempuan yang mula hendak mengerjakan ibadah kepada Allah Ta’ala, jikalau tiada kita mengetahui Aqa’idul Iman yang ringkas ini maka tidaklah sah ibadah kita kepada Allah Ta’ala yaitu 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil dan 1 sifat yang harus maka dijumlahkan jadi 41 dan 4 sifat yang wajib bagi rasul dn 4 sifat pula yang mustahil dan 1 sifat yang harus pada rasul maka jadi 9, maka dijumlahkan dengan 41, jadi 50 Aqa’id
    Aqa’idul Iman 60
    Aqa’idul Iman 64
    Aqa’idul Iman 66
    Aqa’idul Iman 68

Adapun Aqa’idul Iman yang empat (4) kemudian ini untuk ma’rifat yaitu untuk membezakan zat Allah Ta’ala dengan zat yang baharu, dan membezakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu dan membezakan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu, maka kesemuanya itu benar, hanya perselisihannya pada Rukun Iman sahaja, setengahnya tiada dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara, maka jadi 60, setengahnya dimasukkan Rukun Iman tetapi tiada dimasukkan lawannya, maka jadi 64, dan setengahnya dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara dan lawannya , maka jadilah 68 dan yang 66 tiada masyhur sebab tiada dimasukkan satu (1) sifat yang wajib bagi Rasul dan lawannya maka inilah sebab menjadi 66.

Maka baharulah jadi Syahadat itu dua (2) bahagi:

  •     Syahadat Tauhid, yaitu Ashadu anllaa ilaha ilallah
  •     Syahadat Rasul, yaitu Ashadu ana muhammadarrasuulullaah

Adapun Fardhu Syahadat itu dua perkara:

    Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
    Ditasdiqkan makna itu kedalam hati

Syarat Syahadat itu empat perkara:

    Diketahui apa isi didalam dua kalimah itu
    Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
    Ditasdiqkan maknanya itu kedalam hati
    Diyakinkan sungguh-sungguh didalam hati

Rukun Syahadat itu empat perkara:

    Mengisbatkan dzat Allah Ta’ala dzat yang wajibal wujud
    Mengisbatkan sifat Allah Ta’ala sifat yang kamalat atau sifat yang kesempurnaan
    Mengisbatkan af’al Allah Ta’ala memberi bekas dan yang berlaku dalam alam ini semua perbuatannya
    Mengisbatkan kebenaran Rasulullah dan Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah

Kesempurnaan Syahadat itu empat (4) perkara:

    Diketahui
    Diikrarkan dengan lidah
    Ditasdiqkan maknanya didalam hati
    Diamalkan dari dalam hati hingga melimpah keseluruh anggota

Yang Membinasakan Syahadat itu empat (4) perkara:

    Syak hatinya pada Allah Ta’ala
    Menduakan Allah Ta’ala
    Menyangkal dirinya dijadikan Allah Ta’ala
    Tiada mengisbatkan dzat, sifat dan af’al Allah Ta’ala dan kebenaran Rasul

 Adapun dzikir itu tiga (3) bahagian

    Dzikir lidah yaitu: Laa ilaha ilallah
    Dzikir hati yaitu: Allah
    Dzikir sirr yaitu: Huwa

Adapun Laa ilaha ilallaah dzikir orang Syari’at
Adapun Allah... Allah... dzikir orang Tarikat
Adapun Huwa… Huwa… dzikir orang Hakikat

Laa ilaha ilallaah itu makanan Jasmani
Allah… Allah… itu makanan Qalbu
Huwa… Huwa… itu makanan Ruhani

ALLAH
Alif = Dzat
Lam = Sifat
Lam = Af’al
Ha = Asma’

SIFAT-SIFAT KERASULAN

SIFAT-SIFAT KERASULAN

Adapun sifat yang wajib bagi rasul itu empat (4) perkara dan yang mustahil padanya empat (4) sifat pula dan yang harus padanya satu (1) sahaja:
  1.     Siddiq, artinya Benar, lawannya Qizib, artinya Dusta yaitu mustahil
  2.     Amanah, artinya Kepercaan, lawannya Hianat, artinya Tiada Kepercayaan yaitu mustahil
  3.     Tabligh, artinya Menyampaikan, lawannya Qitman, artinya Menyembunyikan yaitu mustahil
  4.     Fathonah, artinya Cerdik Bijaksana, lawannya Biladah, artinya Jahil yaitu mustahil
Adapun yang harus padanya satu (1) sahaja, yaitu: 'Iradul basariyyah, artinya Berperangai dengan perangai manusia yang tiada membawa kekurangan seperti makan, minum beranak, beristri dan sebagainya, lawannya tiada 'Iradul basariyyah, yaitu Tiada Berperangai dengan perangai manusia yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena kita telah mendengar banyak sekali sejarah atau riwayat nabi semasa hidupnya, istimewa pula orang yang sudah berjumpa dengannya seperti segala sahabatnya seperti Abu Bakar dan sahabat yang lain dan begitu juga segala musuhnya seperti Abu jahal dan Abu lahab dan ditambah lagi dengan empat (4) perkara pada rukun iman dan lawannya.

Maka jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam kalimah MuhammadurRasuulullaah

    Percaya akan Malaikatnya, lawannya Tiada percaya
    Percaya akan Kitab, lawannya Tiada percaya
    Percaya akan segala Rasul, lawannya Tiada percaya
    Percaya akan Hari Kiamat, lawannya Tiada percaya

Empat (4) sifat yang wajib bagi rasul dan empat (4) sifat pula yang mustahil padanya dan satu (1) sifat yang harus padanya, lawannya satu (1) pula, ditambah dengan empat (4) pada Rukun Iman dan lawannya empat (4) pula maka dijumlahkan semuanya jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam Sahadat Rasul, maka baharulah jadi Aqa’idul Iman enam puluh delapan (68) yang terkandung didalam Dua Kalimah Syahadat :

Ashadu anllaa ilaha ilallah Wa Ashadu ana muhaammadarrasullullaah