Thursday 13 April 2017

Rukunnya Seorang Imam

Rukunnya Seorang Imam Seperti berikut, dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.
Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah:
1). Jika seseorang sebagai tetamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya”
4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ…
“Tiga golongan yang tidak terangkat solat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”
Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbezaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi uzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.
Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia solat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”
Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan solat, Dari Bacaan-Bacaan solat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.
Ketiga : Mentakhfif solat.
Yaitu mempersingkat solat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan solat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ
“Jika salah seorang kalian solat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia solat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya”
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan solatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam solat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.
Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk solat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian”
Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.”
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;
1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah anal-anak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.
2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ
“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf”
Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm:
لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar”.
Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak solat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :
لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ
“Janganlah solat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin.”
Sedangkan dalam solat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang solat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang solat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang solat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.
Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang solat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki solatnya, menyempurnakan serta memperkukuhnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan solat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang solat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan solatnya.
Kelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.

Al-Ruqyah Al-Shar'iyyah

(The Syarie Incantation Using Quranic Verses for Spiritual Protection and Islamic Exorcism)

Saya telah sediakan Al Ruqyah secara online untuk masa-masa kecemasan dan supaya kita berikhtiar sendiri tanpa terlalu bergantung pada orang lain terutama sekiranya kita atau orang yang hampir pada kita ada kecenderungan gangguan kerohanian. Moga dengan kesungguhan usaha, tawajjuh dan tawakkal kepada Allah SWT dalam apa keadaan sekalipun yang termampu maka Allah SWT mudahkan bagi kita.

Dalam cara rawatan Islam, perawat akan membacakan beberapa potong ayat-ayat Al-Quran supaya pesakit dapat mendengarnya dengan khusyuk. Bagi mereka yang ada gangguan, biasanya apabila dibacakan Al-Quran pada telinganya, si Jin, syaitan atau iblis yang berada di dalam tubuh si pesakit itu akan merasa panas dan lama-kelamaan dia tidak akan boleh bertahan dengan berdiam diri. Maka timbul lah berbagai reaksi dari pesakit itu. Antaranya ialah pesakit akan rasa:

    - pening-pening kepala
    - mabuk
    - muntah-muntah
    - menggeletar
    - pengsan
    - seram-sejuk
    - berdebar-debar

Untuk makluman, ayat-ayat Al-Quran yang biasa digunakan untuk rawatan makhluk halus adalah lebih dikenali sebagai Ayat-ayat Ruqyah.

CARA MENGGUNAKAN RUQYAH SYAR’IYAH

    1) Bagi kesihatan diri dan keluarga, baca/pasangkan rakaman ini didalam rumah/premis perniagaan 3x sehari atau pasangkan dari malam sampai pagi. Sebaik-baiknya membaca sendiri sebagai amalan.

    2) Bagi pesakit gangguan jin, dilarang memasangnya didalam kereta, kesannya akan mengakibatkan kita mengantuk dan mengganggu pemanduan.

    3) Bagi anak-anak yang menangis diwaktu malam, anda perlu pasangkan dengan kuat, insyaAllah jin/syaitan akan lari dari mengganggu anak-anak anda.

    4) Untuk merawat histeria, sihir, saka dan lambat jodoh, sediakan 3 botol besar air mineral, buka penutupnya dan pasangkan cd/mp3 ruqyah ini 3 pusingan sebelah air tadi (kira-kira 1 jam 20 minit).Air tadi dibuat minum seteguk untuk 3x sehari dan lakukan hari berikutnya sehingga air tadi habis. Tiap-tiap lepas solat perlu baca qursy 3x dan al insyirah 3x secara istiqomah. Kemudian sebelah malamnya pula, rakaman ruqyah ini hendaklah dipasang dari malam sampai pagi selama sebulan.

    5) Bagi memulihkan rumah/premis perniagaan yang bermasalah, cuma pasangkan 3x sehari untuk 3 hari berturut-turut.

    6) Jika kita sering mengalami masalah malas dan badan terasa berat, perdengarkan rakaman ruqyah ini 3x sehari, insyaAllah kita akan cergas dan kembali bersemangat.
    *BAGI UNTUK MENDAPATKAN KESEMBUHAN YANG MAKSIMUM BILA MENDENGAR RUQYAH INI, SILA PEJAMKAN MATA DAN DENGAR SEHINGGA TAMAT TANPA MENGIKUT BACAANNYA DIMULUT ATAUPUN DIHATI*

Urutan Ayat-Ayat Ruqyah || No; Nama Surah; Juzuk; Ayat

    1 Al-Fatihah 1 Seluruhnya
    2 Al-Baqarah 1 1-5
    3 Al-Baqarah 1 102
    4 Al-Baqarah 2 163-164
    5 Al-Baqarah (Ayatul Kursi) 3 255
    6 Al-Baqarah 3 285-286
    7 Ali-Imran 3 18-19
    8 Al-’Araf 8 54-56
    9 Al-’Araf 9 117-122
    10 Yunus 11 81-82
    11 Toha 16 69
    12 Al-Mukminun 18 115-118
    13 As-Soffaat 23 1-10
    14 Al-Ahqaaf 26 29-32
    15 Ar-Rahman 27 33-36
    16 Al-Hasyr 28 21-24
    17 Al-Jin 29 1-9
    18 Al-Ikhlas 30 Seluruhnya
    19 Al-Falaq 30 Seluruhnya
    20 An-Naas 30 Seluruhnya

Selain mengubati penyakit yang melibatkan jin dan syaitan, amalkan memasang audio ini di rumah terutamanya jika anda baru berpindah ataupun merasakan ada sesuatu tidak kena pada tempat tinggal anda. Sebar-sebarkanlah perkara ini kerana mungkin ada keperluannya pada insan yang memerlukan. InsyaAllah.

_________________________________________________________

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemukan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa` hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Sungguh Allah SWT telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”

Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah SAW dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kerasukan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah SWT.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal no. 77)